Langsung ke konten utama

Hai, Selamat Datang Uda di Kehidupan Uni

Aku menjadi saksi kisah cinta mereka, sahabatku.
Mungkin tidak sempurna tapi biarkan aku mencoba menceritakan ulang.

Dia adalah sahabat lamaku, dari sekolah menengah atas satu kelas dan juga suka membuat onar bersama. Sekarang sudah kepala dua masih sama senyum dan sifatnya tetaplah sahabatku. Terakhir kali bertemu dia menangis karena sang pujaan hati sudah memiliki sandaran kasih yang baru. Aku mencoba memberinya saran dan solusi juga seorang teman baru yang kini dia panggil Uda.

Biarku coba menjadi dia agar cerita indah ini bisa nyaman kamu baca dan pahami perlahan.

Aku sedang menangisi kekasih lamaku siang hari tanpa sebab hanya saja aku ingin menangis. Aku tidak mengerti kenapa air mataku tidak bisa berhenti mengalir terus saja membasahi pipi, teriakanku kedalam tak terdengar hanya air mata saja. Aku pun bercerita kepada sahabatku, memintanya mencarikanku teman baru agar luka hati yang tak ku mengerti ini bisa berlalu. Selang dua hari dia mengabariku, katanya dia memiliki 3 teman baru kalau aku mau. Aku dengan tertawa terpingkal menanggapinya dengan bercanda, aku sadar aku lupa apa yang kukatakan saat aku menangis. Ketika aku meraung aku memintanya mencarikanku teman baru.

Seminggu berlalu, aku masih saja ditanyai olehnya. Apa aku mau berkenalan dengan teman ini, kakaknya yang dianggapnya seperti saudara kandung. Aku masih saja tersenyum dan tak menanggapi apa perkataanya. Sepertinya teman baru tidak akan membantu apa-apa kataku. Di minggu berikutnya dia kembali bertanya “teman baru” masih menanyaimu hanya sekedar berkenalan. Aku pun terhentak tak percaya, apa masih ? Maksudku ini sudah hampir sebulan aku tidak menanggapi obrolannya tentang teman baru tersebut. 

Aku tersenyum baiklah, silahkan kalau memang niatnya ingin berkenalan saja. Tidak berselang lama aku menerima pesan singkat darinya tentang perkenalan, tidak ada raut basa-basi darinya. Aku dan dia mulai berbagi kabar banyak cerita , aktofitasnya dan hari-hariku setiap harinya. Dia selalu memulai percakapan terlebih dahulu memberiku sedikit perhatian walau ku tahu itu hanyalah hal biasa. Sampai pada hari aku dan dia bertemu tatap muka.

Aku bertemu dengan dia. Di saat berkenalan aku memanggilnya Uda, sebutan sopan untuk lelaki yang lebih besar dari kita. Dia dengan tersenyum mengulurkan tangan “hai uni”, aku membalas senyum ramah tersebut “halo uda”. Perbincangan berjalan canggung aku hanya sedang membiasakah diri, walau lebih dominan dengan diam. Aku hanya menjawab perbincangan dan candaannya dengan seadanya. Tapi dihatimu ada tersirat sesuatu “sepertinya aku mulai meyukai lelaki ini”. 

Pertemuan berikutnya aku sudah mulai bisa membaur dengan candaannya. Aku lebih banyak tertawa karena dia tidak bisa berhenti mengelurkan candaan konyol tentang banyak hal. Aku menikmatinya dan aku selalu tersenyum saat membayangkan candaan yang diluar logika itu. Aku membiasakan diri dengan hadirnya Uda disetiap hariku. Aku mulai mencoba mengerti kesehariannya, sifatnya, keinginannya dan cara memperlakukannya. 

Dia menyatakan suka padaku. Hari dia mengakui suka padaku dan berkeinginan menjadikanku masa depannya. Iya istrinya, dia berkata serius denganku bukan hanyalah bualan. Aku bereaksi diam tidak percaya, aku tersenyum berkata “apa boleh uni mengenal uda lebih jauh”. Dia membalasku dengan senyum “iya uni, kita jalani pelan-pelan uda akan menunggu uni”. Sontak dadaku berdebar kencang tidak tahu lagi ingin bereaksi seperti apa. Dia ingin datang kerumahku dan bertanya kepada orang tuaku, tersipu malu tentunya. Wanita mana yang tidak terkesima saat lelaki akan memintanya pada orang tuamu untuk dijadikan masa depannya.

Dihatiku saat ini. Aku ingin mengucapkan selamat datang untuk uda. Aku berterimakasih dengan datangnya uda mengisi hari-hari tanpa basa-basi berlebihan memintaku dengan serius menjadi pendamping uda. Hanya saja apa boleh aku meminta satu hal saja. Apa aku diizinkan untuk mengenal uda lebih jauh? Bukan karena aku tidak yakin dengan kehadiran uda, hanya saja aku ingin menjadi seseorang yang utuh dan mengenal uda dengan baik. Apa aku boleh meminta hal tersebut ?

Sampai pada hari ini aku menuliskan tulisan ini. Aku sedang membayangkan senyuman uda dan tersipu karena mengingat cara kita berkenalan dan bertemu. Aku sudah mulai memaafkan masa lalu dan ingin memulai hal baru dengan uda. Tulusku untuk uda.

Sekali lagi Uda. Selamat datang di hidup Uni. 

Kepada sahabatku yang sedang berbahagia karena menemui seseorang teman baru. Aku harap sedikit bantuan sahabat akan mengobati luka walau perlahan tapi bertahap. Aku mendoakanmu semoga  kamu menemukan Uda-uda lain diluar sana yang akan menjadi masa depanmu. 

Untuk sahabatku yang kutulis dalam tulisan ini. Aku harapn uda adalah takdir yang Tuhan kirim untukmu hingga akhir hayat. Aku menunggu cerita bahagia beserta surat undanganmu.
Aku menyayangimu.

Ditulis dengan tawa dan senyum bahagia,

Anggi


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukan Lebaran Tahun Ini

Ini tahun ke empat bagiku untuk menghabiskan Ramadan dan lebaran tak pulang ke rumah. Apa aku benar masih anak dari ibu dan ayahku? Atau aku hanya berpura-pura tegar untuk menutupi semua sedihku, karena banyak hal yang membuatku tak bisa pulang. Kaum rantau yang masih terus mengejar dunia, aku. Sebentar saja jangan rapuh dan jangan menyerah dulu, berusahalah untuk tak meratapi walau sebenarnya sudah mulai terbebani. Bukan lebaran kali ini sayang, kita rencanakan lagi tahun berikutnya. Bukan tahun ini .

Hati Yang Sudah Tak Memanggil Namamu

Dentingan jam dinding malam ini serta dekapan udara musim dingin membuatku tiba-tiba teringat sosokmu. Sudah berapa lama selang aku memutuskan berhenti untuk melihat kemasa ada dirimu. Hempasan ranting pohon yang ditiup angin mengeluarkan melodi yang tak menyenangkan. Aku harap aku sudah tak diingat oleh ratusan orang yang mengenal namaku dan namamu.  Beberapa hari lalu didalam gerbong kereta dengan memperhatikan pepohonan disaat matahari terbenam aku menerima pesanmu memintaku kembali. Aku rasa hilang warasmu tak lagi ada rasa malumu atau sudah tak kau gubris akal sehatmu. Aku berbisik kehatiku, apa kamu bergetar? Tetapi tak ada jawaban. Hatiku tak bergeming meskipun itu kamu yang memanggil namaku. Dengan senyuman, Caroot yang sudah tak menginginkanmu